JAKARTA – Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan para pemimpin Afrika di Bali pekan ini dalam upaya meningkatkan hubungan ekonomi dan perdagangan. Namun banyak negara Afrika yang tidak mengirim perwakilannya, dan para pemimpinnya malah lebih memilih untuk menghadiri forum serupa di China.
Forum Indonesia-Afrika yang diadakan minggu ini dipandang sebagai peluang bagi negara terbesar di Asia Tenggara ini untuk meningkatkan hubungan dagang dengan Afrika dan mencari pasar ekspor baru, namun forum yang berlangsung selama tiga hari tersebut tidak berhasil menarik perhatian seluruh negara di Afrika.
Christophe Dorigne-Thomson, pakar hubungan luar negeri yang tinggal di Jakarta, mengatakan “Antara Indonesia dan China, para pemimpin utama Afrika lebih memilih untuk hadir di China. Tapi, ini bukan berarti kerja sama dengan Indonesia dan forum tersebut tidak akan menghasilkan diskusi dan hasil yang penting. Namun secara simbolis, yang pasti, mereka memilih China.”
Secara total, delegasi dari 29 negara datang ke Bali untuk menghadiri pertemuan puncak tersebut, jauh lebih sedikit dibanding dengan forum perdana pada tahun 2018, ketika perwakilan 47 negara Afrika hadir.
Meskipun jumlah peserta yang hadir lebih sedikit, Indonesia berharap dapat mencapai kesepakatan bisnis senilai $3,5 miliar dari pertemuan puncak tiga hari tersebut. Nilai tersebut hampir enam kali lipat daripada yang dihasilkan dalam kesepakatan pada forum pertama enam tahun lalu.
Dewi Fortuna Anwar, peneliti senior di Badan Riset dan Inovasi Nasional Indonesia, mengamati kesepakatan-kesepakatan yang dibahas pada pertemuan puncak itu.
“Tampaknya ada beberapa MOU dan surat pernyataan minat yang konkret, seperti industri pesawat terbang Indonesia menandatangani kesepakatan dengan beberapa negara dan perusahaan minyak juga menandatangani kesepakatan,” jelasnya.
Meskipun beberapa pemimpin Afrika tidak hadir di Bali dan memilih Beijing, masih ada rasa kerja sama yang kuat antara Indonesia dan benua Afrika.
Hubungan Indonesia dan negara-negara Afrika dimulai pada tahun 1955 ketika konferensi Asia-Afrika pertama diadakan di kota Bandung, Indonesia.
Konvoi pengawalan iring-iringan mobil yang membawa Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed di Bandara Internasional Ibu Kota Beijing, menjelang KTT Forum Kerja Sama China-Afrika (FOCAC) 2024 di Beijing, Rabu, 4 September 2024. (Wu Hao/Pool Photo via AP)
Konvoi pengawalan iring-iringan mobil yang membawa Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed di Bandara Internasional Ibu Kota Beijing, menjelang KTT Forum Kerja Sama China-Afrika (FOCAC) 2024 di Beijing, Rabu, 4 September 2024. (Wu Hao/Pool Photo via AP)
Elina Noor, peneliti senior di Program Asia di Carnegie Endowment for International Peace, mengatakan bahwa Indonesia dapat memanfaatkan sejarah ini untuk memetik keuntungan. “Jakarta bisa membanggakan sejarah dan warisan hubungan yang dimulai sejak KTT Bandung. Indonesia benar-benar berupaya memanfaatkan hubungan bersejarah tersebut,” sebutnya.
Pada forum di Bali, bisnis menjadi fokus utama, namun politik juga ikut bermain.
Presiden Joko Widodo berupaya meningkatkan posisi Indonesia di kancah internasional, dengan mempromosikan negaranya sebagai suara negara-negara berkembang dan kurang berkembang. Ia juga berusaha mempertahankan pilihan negaranya tetap terbuka ketika ketegangan AS-China meningkat, kata Dorigne-Thomson.
“Ini adalah cara bagi Indonesia untuk menemukan cara baru dan tidak terjebak dalam ketegangan geopolitik seperti itu. Jadi Afrika bagi Indonesia adalah cara baru untuk melayani kepentingannya. Pada dasarnya,” sebutnya. (ab/uh)
Sumber: VOAI