Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono menjelaskan praktik penggunaan land application limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) untuk pemupukan organik degan mempertimbangkan dosis, frekuen sihingga parameter karakteristik lokasi kebun kelapa sawit memiliki manfaat positif.
“Dengan pemanfaatan LCPKS untuk pemupukan organik, maka selain memberikan bahan nutrisi organik alami, maka akan berdampak pada pengurangan impor pupuk dari luar negeri. Ini mengemat devisa. Selain itu sebagai sumber penggunaan energi terbarukan yang dihasilkan dari LCPKS,” ujar Eddy di Jakarta, Senin.
Pemanfaatan LCPKS dengan dosis dan frekuensi optimal, jenis tanah, faktor cuaca, redox dan parameter lainnya sesuai karakteristik lokasi kebun kelapa sawit sangat bermanfaat. Pada kadar Biological Oxygen Demand (BOD) tertentu, yakni 3.000 hingga 5.000 mg/liter dengan eH> – 150 mVolt, kandungan limbah cair pabrik kepala sawit (LCPKS) mengandung input unsur hara yang paling optimal dan tidak menimbulkan emisi gas methane (CH4).
Land application (LA) atau aplikasi lahan merupakan salah satu teknik pengelolaan limbah cair pabrik kelapa sawit dengan cara mengalirkan limbah cair melalui sistem parit ke kebun. Sedangkan, BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikro organisme untuk menguraikan zat organik dalam air limbah.
“Untuk pabrik kelapa sawit (PKS) dengan kebun dan limbah cair akan digunakan land application (LA) sebaiknya Biochemical Oxygen Demand (BOD) di bawah 5.000 mg/L dan minimum 2.000 mg/L. Hal ini agar kandungan bahan organik masih layak diaplikasikan dan tidak membahayakan terhadap lingkungan,’’ kata Eddy Martono dalam keterangannya di Jakarta, Senin (9/12/2024).
Untuk penggunaan methane capture, paling rendah BOD yang dihasilkan adalah 2.000 mg/L, Eddy mengusulkan agar sebaiknya tidak diwajibkan bagi PKS yang akan menggunakan limbah cair untuk land application. ‘’Tetapi kalau akan digunakan untuk energi silakan,’’ jelasnya. Methane capture teknologi yang digunakan untuk menangkap gas metana hasil pembakaran limbah sawit.
Adapun, kata Eddy, untuk ketentuan untuk PKS tanpa kebun sudah baik. Dimana, mereka diwajibkan mengolah limbahnya sampai memiliki BOD di bawah 100 mg/L, karena limbah cair tersebut akan dibuang di badan air. “Regulasi untuk LA sudah ada dan sebaiknya tetap dipertahankan, supaya tujuan untuk mendapatkan pupuk organik dan mengurangi penggunaan pupuk kimia dapat tercapai,’’ paparnya.
Pengurangan impor pupuk, kata dia, akan meningkatkan efisiensi dan daya saing industri kelapa sawit, karena akan memberikan lapangan kerja dan kesempatan berusaha bagima syarakat di sepanjang rantai pasok nasional pada industri kelapa sawit.
Berdasarkan Laporan Akhir Penyusunan Roadmap Pengurangan Emisi GRK dan Pemanfaatan LCPKS pada Perkebunan dan Industri Minyak Kelapa Sawit (Pusaka Kalam, 2024) secara biaya operasional LA lebih menguntungkan dari pada Non-LA, keuntungan operasional mencapai Rp 2.928.236/hektare hingga Rp 5.478.738/hektare.
‘’Dengan manfaat di atas pemanfaatan sumberdaya LCPKS pada akhirnya meningkatkan pendapatan nasional Indonesia dan mendukung target Pertumbuhan ekonomi 8 persen dari Presiden Prabowo Subianto,’’ katanya.
Untuk mencapai hal tersebut, ia menyebut, dibutuhkan kolaborasi k/l terkait untuk memanfaatkan sumberdaya LCPKS yang melimpah tersebut.
Sebab, penggunaan pupuk sintetis mengakibatkan jejak karbon yang lebih tinggi, dari proses produksi pupuk sintetis hingga aplikasi di lapangan.
Sebaliknya, pengurangan penggunaan pupuk sintetis juga berdampak pada penurunan biaya operasional secara signifikan sehingga akan berdampak pada indeks kinerja dan harga tandan buah segar (TBS) petani yang lebih baik, sebab, hal tersebut menyebabkan biaya operasional menurun.
Pihaknya pun siap berkontribusi dalam penyusunan roadmap (peta jalan) pengurangan emisi gas rumah kaca di industri kelapa sawit termasuk memberikan usulan kajian naskah akademik untuk memperbaharui aturan yang ada.
Sebagai informasi, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) akan mempersiapkan peningkatan baku mutu untuk industri sawit yang tidak memiliki kebun untuk pemanfaatan limbah cair atau aplikasi lahan (land application).
“Kami akan perkuat baku mutunya. Kalau mungkin yang punya kebun, baku mutu terkait dengan land application-nya, mungkin tidak terlalu strict, katakan mungkin boleh 2.000, karenakan diaplikasikan lagi kekebun-kebun mereka,” ujar Menteri LH/Kepala BPLH Hanif Faisol Nurofiq.
Menurut Hanif, industri yang memiliki kebun dapat memanfaatkan limbah cairnya untuk bahan penyubur atau digunakan dalam proses pemupukan tanaman sawit di dalam perkebunan tersebut. Namun untuk industri yang tidak memiliki kebun hal itu tidak memungkinkan dilakukan dan dapat dibuang kesungai yang pada akhirnya bisa mencemari lingkungan.
“Makanya terhadap industri yang tidak memiliki kebun, maka baku mutunya wajib di bawah 100. Kalau tidak, ya cabut. Sudahlah, alam kita sudah terlalu banyak tekanan, kita tidak perlu banyak berorasi yang tidak jelas-jelas,” tutur Hanif.
Pada Oktober 2024, Mahasiswa Doktoral Ilmu Biologi, Fakultas Biologi UGM (Universitas Gajah Mada) Tia Erfianti berhasil meraih penghargaan bergengsi Kurita Grant Japan 2024 usai melakukan riset tentang pengolahan limbah, khususnya limbah cair dar iindustri kelapa sawit, atau Palm Oil Mill Effluent (POME) dengan mikro alga.
Penelitian Tia berfokus pada pemanfaatan limbah cair kaya nitrogen sebagai media tumbuh mikro alga. Dengan produksi POME yang mencapai 28,7 juta ton per tahun di Indonesia, Tia melihat potensi besar untuk mengelola limbah ini dan mengubahnya menjadi sumberdaya. “Tim riset kami di Fakultas Biologi telah memiliki lebih dari 35 strain mikro alga unggulan dari Indonesia yang mampu meremediasi limbah khususnya limbah perairan. Sehingga, tercetuslah ide untuk memanfaatkan limbah cair tersebut,” pungkasnya.
Sumber: Sawit Indonesia