Landak, Landak News – Ketegangan memuncak di ruang sidang DPRD Kabupaten Landak ketika rapat dengar pendapat yang digelar Komisi B berubah menjadi arena adu argumen panas.
Agenda awal yang bertujuan mengurai benang kusut pembagian hasil kebun plasma dan transparansi utang investasi justru menguak kenyataan mengejutkan: PT. Saban Sawit Subur (PT. SSS) telah melaporkan para petani sawit ke Kapolda Kalbar!
Aksi damai yang digelar petani dari Desa Pak Mayam, Kecamatan Ngabang dan Jelimpo di depan kantor perusahaan, justru berujung pelaporan pidana. Langkah itu memicu kemarahan para wakil rakyat yang hadir dalam rapat, Kamis siang tersebut.
Wakil Ketua DPRD Landak, Minadinata, SH, tak menahan kegeramannya. Dengan nada tinggi ia menegaskan, “Ini persoalan hak dan keadilan! Warga hanya ingin kejelasan, bukan dipidanakan.”
Ketua Komisi B, Evy Yuvenalis, SH, bersama anggota dewan lainnya seperti Muhidin dan Desi Nellyda, SH., MH, turut menyuarakan keprihatinan mendalam atas langkah hukum yang dinilai gegabah dan tidak berempati terhadap jeritan petani.
Pertemuan yang menghadirkan perwakilan PT. SSS, Koperasi Gagas Batuah, serta berbagai pihak terkait seperti Kapolsek Jelimpo, Camat Ngabang, Diskopindag, dan Dinas Perkebunan, menjadi ajang blak-blakan. Ketua KSU Gagas Batuah memaparkan bahwa sejak mediasi 12 November 2024, ada tiga komitmen penting yang disepakati:
1. Pemeriksaan kondisi lahan plasma maksimal 15 Desember 2024.2.
Pemaparan lengkap biaya investasi dan operasional 2016–2024.
3. Penyusunan ulang perjanjian kemitraan.
Namun, janji tinggal janji. Rapat lanjutan pada 5 Desember 2024 di Café Joan Ngabang justru membongkar fakta mencengangkan: koperasi memiliki utang ke PT. SSS sebesar Rp 75,5 miliar! Angka fantastis yang sontak memantik kemarahan para petani, yang merasa dibohongi selama bertahun-tahun.
Kepala Desa Pak Mayam, Pajar, angkat suara dengan nada kecewa. “Surat pemberitahuan aksi sudah kami layangkan ke Bupati. Tapi perusahaan langsung lapor ke Kapolda, seolah-olah Polres Landak tak bisa menangani. Ini sangat kami sesalkan,” ungkapnya lantang.
PT. SSS berdalih bahwa pemagaran lahan oleh warga telah merugikan perusahaan, namun menyatakan siap mencabut laporan bila warga bersikap kooperatif. Pernyataan ini justru memantik pertanyaan: jika bisa dicabut, mengapa harus dilaporkan sampai ke Polda?
DPRD Landak pun mengambil sikap tegas. Penyelesaian damai dan adil adalah harga mati. “Kami akan berkoordinasi langsung dengan kepala daerah untuk menyelesaikan masalah ini secara tuntas,” tegas Minadinata di akhir rapat.
Drama di ruang sidang ini seolah mencerminkan pertarungan panjang antara rakyat kecil dan korporasi raksasa. Satu hal yang pasti: DPRD Landak tidak tinggal diam. Pertarungan demi keadilan baru saja dimulai. (r)