Meskipun pemerintah sudah memberikan diskon untuk pembelian motor listrik sebesar Rp7 juta per unit, namun peminatnya masih jauh dari target.
Padahal, program yang dimulai dari Maret 2023 ini menargetkan bantuan subsidi untuk motor listrik bisa terserap hingga 200 ribu unit pada tahun ini.
“Konsumen baru ada 112 plus dua, dua yang sudah terbit STNK-nya. Tapi prinsip 114 total sudah disetujui untuk program bantuan ini,” ungkap Direktur Komersial Surveyor Indonesia Saifuddin Wijaya, dalam konferensi pers di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (17/5).
Saifuddin menyatakan, lambatnya realisasi penyerapan bantuan subsidi ini dikarenakan beberapa hal, yakni meskipun program bantuan sudah diluncurkan sejak Maret 2023, namun baru berjalan efektif pada Mei. Ia yakin, dengan sosialisasi yang lebih masif ke depan terkait program bantuan ini, maka peminatnya akan jauh lebih tinggi lagi.
“Dua ratus ribu target kuota, sekarang baru 114. Ini saya berharap akan ada proses percepatan atau kenaikan yang lebih eksponansial dengan semakin mudahnya informasi. Memang perlu semacam sosialisasi yang masif terhadap program ini. Kalau ditanya kapan (target tercapai)? Saya juga tidak tahu, mudah-mudahan terserap di tahun ini 200 ribu,” terangnya.
Tidak semua masyarakat bisa menikmati insentif motor listrik dari pemerintah. Saifuddin mengatakan, ada empat kriteria yang berhak menerima bantuan tersebut yakni penerima bantuan subsidi upah (BSU), bantuan produktif usaha mikro (BPUM), penerima Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan penerima subsidi listrik 450-900 VA.
Meski begitu, ia menekankan bahwa proses pengajuan untuk mendapatkan insentif ini sangat mudah. Masyarakat yang termasuk dalam kategori penerima bantuan ini cukup melakukan pendaftaran ke dealer yang sudah terverifikasi dengan hanya menunjukkan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Saat ini, kata Saifuddin, sudah ada 226 dealer yang resmi menjual motor listrik dari sepuluh pabrikan yang telah memenuhi kriteria dari Kementerian Perindustrian.
Adapun salah satu kriteria pabrikan motor lsitrik yaitu harus memenuhi penggunaan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dalam produksinya minimal 40 persen.
“Bedanya kalau beli motor biasa di sini ada pengecekan dulu apakah konsumen ini masuk dalam kriteria yang sudah dipersyaratkan. Prosesnya cepat dan mudah, tidak berbelit-belit. Memang banyak konsumen yang tidak masuk dalam empat kriteria tadi. Karena ini bantuan pemerintah jadi kriteria ini harus tetap dipenuhi,” kata Saifuddin.
Dukungan Sarana dan Prasarana Infrastruktur
Corporate Secretary PT Pertamina Niaga Irto Ginting mengungkapkan guna mendukung peningkatan penggunaan kendaraan listrik atau electric vehicle (EV), pihaknya telah menyiapkan battery swapping station (BSS) atau stasiun penukaran baterai yang akan ditempatkan di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).
“Untuk motor, kami sudah menyiapkan 20 stasiun penukaran baterai atau swapping station itu ada 15 di Jabodetabek dan enam di Bali. Tahun ini akan kita kembangkan sebanyak 23 yang akan kita tempatkan di SPBU-SPBU sehingga nanti masyarakat pengguna EV tidak kesulitan, karena kalau swapping station cepat tinggal datang ke SPBU, kita ambil dan tukar sudah bisa langsung jalan. Kita sudah uji coba dengan ojek online di Jabodetabek dan Bali, kurang lebih 500 kendaraan motor yang kita sudah uji coba dan hasilnya cukup memuaskan. Jadi harapan kami, kita bisa mengembangkan untuk EV,” kata Irto.
Selain itu, sejauh ini untuk kendaraan listrik roda empat pihaknya telah membangun enam Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik untuk Umum (SPKLU) yang baru ada di Jakarta. Ia mengatakan ke depan, akan dikembangkan di luar Jakarta.
Harga Mahal dan Kebijakan yang Salah
Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno mengungkapkan sepinya peminat insentif motor listrik disebabkan harganya yang masih relatif mahal meskipun harganya sudah diberi diskon.
“Motor biasa kan rendah (harganya), cuma uang muka Rp500 ribu, atau tanpa DP sudah pakai motor. Motor listrik itu sudah disubsidi itu harganya masih di atas Rp20 juta, ya berat mereka. Kalau suruh angsuran bulanan sanggup, tidak? Karena rata-rata masyarakat kita mencicil hanya sanggup Rp500 ribu-an,” kata Djoko.
Dari awal, Djoko sudah mengatakan bahwa kebijakan pemerintah yang memberikan insentif untuk kendaraan listrik roda dua dan empat ini keliru. Menurutnya, seharusnya pemerintah mengembangkan kendaraan lsitrik untuk transportasi massal terlebih dahulu.
“Kita itu krisis angkutan umum, krisis kesalamatan transportasi. Kalau misalnya Pak Luhut bilang kami sudah belajar di luar negeri, saya tanya sekarang, di Eropa itu tidak ada sepeda motor. Mereka memberi insentif mobil listrik. Dasarnya karena public transportnya sudah bagus. Sepeda motor di luar negeri itu mahal. Sepeda motor yang produksinya besar-besaran di dunia ini hanya empat, China, Indonesia, Vietnam sama Thailand. India saja bajaj yang dikembangkan,” jelasnya.
Menurutnya, kebijakan Kementerian Perhubungan yang mengembangkan bus listrik berbasis Buy the Service (BTS) di Bandung dan Surabaya seharusnya bisa lebih dimasifkan lagi. Dengan begitu pengguna transportasi publik bisa bertambah sehingga kemacetan dan polusi bisa lebih ditekan lagi.
“Kalau kita kembangkan (transportasi umum) perkotaan kita dengan bis listrik, emisinya jelas turun. Pengguna motor sebanyak 62 persen sudah menggunakan program BTS, Kalau sudah beralih kita sudah bisa mengurangi angka kecelakaan, tidak pakai motor, tidak macet, polusinya rendah. Anak-anak sekolah 45 persen menggunakan BTS. Itu sudah nampak hasilnya ada, kenapa tidak mengembangkan itu?,” pungkasnya. [gi/lt] Sumber: VOA INDONESIA