Home / Nasional

Selasa, 15 Oktober 2024 - 06:08 WIB

Prabowo panggil para calon menteri, mengapa kabinet berpotensi gemuk?

Prabowo Subianto dipotret bersama sejumlah petinggi partai politik di Istana Negara, Jakarta, 18 Juli 2024.
© AFP

Prabowo Subianto dipotret bersama sejumlah petinggi partai politik di Istana Negara, Jakarta, 18 Juli 2024. © AFP

JAKARTA – Sejumlah tokoh yang digadang-gadang bakal menjadi calon menteri datang menemui Presiden terpilih Prabowo Subianto di kediamannya di Jakarta, pada Senin (14/10). Kemunculan mereka terjadi setelah mengemuka kabar bahwa jumlah menteri yang akan ditunjuk Prabowo akan menjadi yang terbanyak sejak era pemilihan presiden secara langsung tahun 2004.

Para tokoh yang menyambangi kediaman Prabowo mencakup Agus Harimurti Yudhoyono, Nusron Wahid, Saifullah Yusuf, Yandri Susanto, Fadli Zon, Prasetyo Hadi, Natalius Pigai, Maruarar Sirait, Abdul Kadir Karding, dan Teuku Riefky Harsya.

Ketua Harian Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, mengonfirmasi bahwa tokoh-tokoh itu dipanggil dalam kapasitas sebagai calon menteri para pemerintahan Prabowo.

Dasco menyebutkan bahwa tokoh-tokoh itu sudah menandatangani kesediaan untuk membantu Prabowo pada pemerintahan mendatang.

Dasco menyebutkan, para tokoh itu dipanggil ke kediaman Prabowo dalam rangka finalisasi susunan kabinet pemerintahan Prabowo. “

“Yang dipanggil itu akan bertemu dengan Pak Prabowo, nah finalisasinya nanti setelah pertemuan, kira-kira begitu,” ucap wakil ketua DPR RI itu pada Senin (14/10) sebagaimana dikutup Kompas.com.

Menjelang pelantikan Prabowo Subianto sebagai presiden pada 20 Oktober mendatang, Prabowo disebut akan membentuk kabinet gemuk seiring hubungannya terus “membaik” dengan para petinggi partai yang tak mengusungnya pada pilpres lalu.

Kabinet gemuk itu merujuk jumlah menteri yang disebut-sebut akan ditetapkan Prabowo, antara 44 atau 46 menteri.

Jumlah tersebut, kalaupun benar, telah mendapat legalitas dari UU Kementerian Negara terbaru yang menghapus batas maksimal jumlah menteri dalam sebuah kabinet pemerintahan.

Pembentukan kabinet gemuk tersebut, menurut Herdiansyah Hamzah, pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, akan memunculkan dampak negatif.

Bukan hanya soal kabinet dan anggaran negara yang membengkak, Herdiansyah menyebut ketiadaan partai oposisi akan membuat pemerintahan Prabowo bergulir tanpa pengawasan.

“Hilangnya oposisi menjadi pertanda bahwa rezim Prabowo akan berjalan tanpa ada mekanisme check and balances. Itu berbahaya,” ujarnya.

Apakah dipicu sistem ketatanegaraan?

Kombinasi sistem presidensialisme dan multipartai yang berlaku di Indonesia mudah memicu ketidakstabilan pemerintahan.

Alasannya, presiden berpotensi terus dijegal oleh partai-partai di DPR dalam urusan pembentukan undang-undang dan anggaran, bahkan ancaman pemakzulan.

Argumen tadi telah sejak lama diyakini para ilmuwan, kata Marcus Mietzner, profesor ilmu politik di Australian National University.

Dia menuliskannya dalam artikel di Jurnal Contemporary Southeast Asia, Agustus 2016.

Namun Mietzner menyebut analisis itu belakangan telah terbantahkan karena “keterampilan membangun koalisi politik dapat menghindarkan presiden dari ketidakstabilan pemerintahan”.

Strategi membangun koalisi itu, menurut Mietzner, berkaitan erat dengan hak prerogatif presiden untuk membentuk kabinet dan menunjuk menteri.

Kebebasan dalam membentuk kabinet ini disebutnya sebagai alat paling efektif untuk menjalin koalisi politik secara cepat.

Sejak pemilihan presiden Indonesia secara langsung pertama kali digelar pada 2004, dua presiden terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo disebut berupaya membangun koalisi besar dengan berbagai partai politik.© Getty Images

Merujuk analisis Mietzner, Mada Sukmajati, ilmuwan politik di Universitas Gadjah Mada menyebut tidak ada presiden Indonesia yang berani membentuk kabinet yang sederhana dalam dua dekade terakhir.

Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk 34 menteri dalam setiap periode jabatannya. PDIP selama periode 10 tahun itu sama sekali tak mendapat jatah menteri. Sementara Gerindra dan Hanura juga tak masuk koalisi SBY usai dua partai itu dibentuk jelang Pemilu 2009.

Pada 10 tahun pemerintahan Jokowi, PKS menjadi satu-satunya partai yang belum pernah mendapat satu pun dari 34 posisi menteri. Seluruh partai, termasuk yang tak memiliki kursi di DPR seperti PSI, telah dirangkul Jokowi untuk masuk ke kabinetnya.

“Prabowo sepertinya juga tidak berani membentuk koalisi model minimum winning,” ujar Mada. Minimum winning merupakan terminologi yang merujuk koalisi partai yang menguasai 51% jumlah kursi legislatif.

Baca juga  Muhammadiyah Kota Bogor Belum Menggarap Dakwah di Kalangan Milenial dan Gen Z

“Keinginan Prabowo adalah koalisi besar berisi partai dengan ideologi nasionalis sampai yang spektrumnya Islam paling kanan yang diwakili PKS,” kata Mada.

Meskipun memiliki sistem presidensial dan multipartai seperti Indonesia, Presiden Filipina Bongbong Marcos (kiri) memiliki kabinet yang tergolong ramping, dengan 22 menteri.© AFP

Proyeksi koalisi besar yang akan dibentuk Prabowo, menurut Mada, berlebihan.

Pemicunya, kata dia, bukan semata kombinasi sistem presidensial dan multipartai, melainkan ketidakmampuan dan sikap tidak percaya diri mengelola konstelasi politik.

“Filipina juga memiliki kombinasi presidensial dan multipartai, tapi Presiden Bongbong Marcos hanya memiliki 22 menteri,” ujar Mada.

“Memang di Filipina tetap ada nuansa akomodatif terhadap sebanyak mungkin pihak, tapi tidak semua pihak dimasukkan ke dalam pemerintahnya.

“Jadi koalisi gemuk yang dirancang Prabowo ini bukan semata akibat kombinasi presidensial dan multipartai, tapi juga faktor keberanian dan keterampilan dari presiden dan wakil presiden terpilih untuk mengelola stabilitas pemerintahan,” kata Mada.

Agar tak dijegal di DPR?

Pada Pilpres 2024, Prabowo dan wakilnya, Gibran Rakabuming, diusung delapan partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju.

Usai KPU mengesahkan kemenangan mereka, satu per satu partai kemudian berubah sikap dan menyatakan dukungan politik mereka untuk Prabowo. Gabungan partai-partai pendukung mereka pun lantas berubah menjadi Koalisi Indonesia Maju Plus.

Enam partai yang merapat ke Prabowo usai pilpres adalah NasDem, PKB, PKS serta tiga partai yang tak lolos ke Senayan—PPP, Perindo, dan Partai Buruh.

Thomas Aquinas Muliatna Djiwandono, keponakan Prabowo, kini duduk sebagai Wakil Menteri Keuangan. Thomas disebut berbagai kalangan ditugasi untuk memuluskan transisi kebijakan anggaran dari era Jokowi ke Prabowo.© AFP

PDIP, partai yang meraih suara terbanyak dalam Pemilu 2024, kini menjadi satu-satunya partai yang belum mempublikasikan sikap mereka terhadap pemerintahan Prabowo.

Meski begitu pertemuan empat mata antara Prabowo dan pimpinan PDIP, Megawati Soekarnoputri, telah dijajaki. Pertemuan mereka tinggal menunggu waktu, kata Sufmi Dasco Ahmad, Ketua Harian Gerindra.

“Masalah tanggal dan tempat masih dipastikan karena masing-masing saling mencocokkan. Yang pasti, soal makanan sudah ditentukan,” kata Dasco kepada pers, 26 September lalu.

Putri Mega yang juga Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDIP, Puan Maharani, sebelumnya juga telah memberikan isyarat tentang pertemuan ibunya dan Prabowo.

“Insyaallah akan ada pertemuan,” ujar Puan, 10 September silam.

Jika pada akhirnya PDIP bergabung ke Koalisi Indonesia Maju Plus, tidak akan ada partai yang secara terbuka mengambil posisi bersebrangan dengan pemerintahan Prabowo.

Prabowo, usai bertemu Ketua Majelis Syuro PKS, Salim Segaf Al-Jufri, mengutarakan alasannya berupaya menggandeng semua partai politik.

“Kerja sama ini yang terbaik untuk rakyat,” kata Prabowo usai pertemuan itu kepada pers, 11 Oktober lalu.

Koalisi besar dicemaskan menihilkan mekanisme pengawasan terhadap kebijakan pemerintah. Foto ini memperlihatkan ratusan pekerja media massa yang menentang rencana pemerintahan Jokowi mengesahkan RUU Penyiaran yang kontroversial.© Getty Images

Namun dampak negatif justru berpotensi muncul jika seluruh partai mendukung pemerintah, kata Herdiansyah Hamzah, pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman.

Bukan hanya soal kabinet dan anggaran negara yang membengkak, Herdiansyah menyebut ketiadaan partai oposisi akan membuat pemerintahan Prabowo bergulir tanpa pengawasan.

“Hilangnya oposisi menjadi pertanda bahwa rezim Prabowo akan berjalan tanpa ada mekanisme check and balances. Itu berbahaya,” ujarnya.

“Kalau berbagai kebijakan nantinya diambil hanya untuk kepentingan rezim dan oligarki, yang terjadi bisa sama persis dengan pemerintahan Jokowi,” kata Herdiansyah.

Dia merujuk pada pengesahan sejumlah undang-undang kontroversial yang ditentang publik, termasuk lewat unjuk rasa besar di berbagai kota, seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan revisi UU Pilkada.

“Koalisi gemuk didasarkan pada bagi-bagi kekuasaan, artinya mereka bekerja untuk mengakomodasi kepentingan kelompok,” ucap Herdiansyah.

Baca juga  Indonesia Resmi Bergabung dengan BRICS: Apa Untung dan Ruginya?

“Siapa lagi yang akan mengawasi pemerintah? Apakah pemerintah akan efektif kalau yang mengawasi mereka adalah orang-orang Prabowo sendiri?

“Tidak mungkin jeruk makan jeruk,” tuturnya.

Megawati dan Prabowo dipotret pada Juli 2009. Keduanya kini akan dipertemukan untuk membahas rencana koalisi pemerintahan untuk lima tahun ke depan.© AFP

SBY, dalam wawancara dengan Marcus Mietzner tahun 2014, mengungkap bagaimana koalisi besar mengurangi kekhawatirannya terhadap ketidakstabilan dan pertentangan politik.

“Meyakinkan setiap partai dalam koalisi bukan pekerjaan mudah,” ujar SBY, sebagaimana ditulis Mietzner dalam buku berjudul The Coalitions Presidents Make.

“Dalam sekitar 30% kasus, saya harus menerima kenyataan bahwa saya tidak bisa memaksakan kebijakan saya,” kata SBY.

Artinya, menurut Mietzner, 70% kebijakan SBY mendapat persetujuan politik dan bisa terlaksana. Dan oleh karena inilah, kata SBY, koalisi besar dapat menjamin stabilitas.

Melindungi presiden di luar DPR

Dalam buku The Coalitions Presidents Make, Mietzner menyebut koalisi besar tidak semata untuk memuluskan urusan pemerintah di DPR. Alasannya, koalisi dengan suara yang mencapai 51% saja telah cukup untuk menjaga kepentingan pemerintah di badan legislatif.

Lebih dari itu, kata Mietzner, rezim pemerintah yang berkuasa membutuhkan partai politik untuk melindunginya dari ancaman di luar parlemen.

Mietzner berkata, partai politik memegang kekuatan kultural yang tak dimiliki oleh presiden. Contoh yang diberikan Mietzner adalah momen ketika Jokowi harus menghadapi persoalan politik identitas dan agama.

“Pada Pilpres 2014, Jokowi menghadapi rumor bahwa dia adalah penganut Kristiani dan beretnis Tionghoa. Sebagai bagian dari kesepakatan koalisi sebelum pemilu, partai Islam tradisional seperti PKB melakukan kampanye di banyak pesantren untuk melawan pencemar

Jokowi disebut memanfaatkan koalisi politik bukan sekedar dalam proses legislasi di DPR, tapi juga melindunginya dari serangan di luar parlemen.© Getty Images

Apakah ada relasi antara jumlah menteri dengan hasil kinerja pemerintah?

Bagaimanapun, Mada Sukmajati menyebut pembagian kursi kabinet kepada partai politik akan mengancam kepentingan publik.

Mada berkata, perwakilan partai politik yang duduk di pemerintahan berpotensi besar memusatkan sumber daya negara untuk kepentingan kelompoknya. Situasi seperti ini, kata Mada, dikenal sebagai fenomena klientelisme.

“Semakin gemuk sebuah kabinet bisa berimplikasi pada klientelisme yang menguat. Partai pasti akan mengakses sumber daya negara untuk memelihara konstituen mereka demi meningkatkan suara pada pemilu berikutnya,” ujar Mada.

“Ini punya resiko terhadap diskriminasi pelayanan publik karena konsep warga negara diganti menjadi konstituen,” tuturnya.

Dalam sebuah riset politik di kawasan sub-Sahara Afrika, klientelisme dipahami sebagai alokasi jabatan publik yang strategis untuk elite politik. Dalam konteks itu, jabatan di kabinet merupakan hadiah besar yang memberi peluang besar dan privilese.

Elite klientelisme semacam ini berkaitan erat dengan korupsi besar yang memberi keuntungan di luar gaji resmi kepada pejabat publik. Dalam riset Linnea Mills terhadap 42 negara di Afrika, ukuran kabinet pemerintahan yang besar sepanjang tahun 1985-2010 memiliki asosiasi positif dengan kasus korupsi.

Majelis Rendah Inggris, dalam penelusuran yang melibatkan akademisi, menyebut terdapat konsensus yang menguat bahwa jumlah menteri yang semakin banyak berdampak negatif pada efektivitas pemerintahan.

Dalam sesi dengar pendapat di Majelis Rendah itu, mantan Sekretaris Kabinet Inggris Andrew Turnbull, mengungkap bagaimana seorang menteri yang tak menerima gaji tetap akan menguras anggaran publik jika dia bekerja dalam kabinet yang gemuk.

“Jika seorang menteri diberikan tiga sekretaris pribadi, seorang asisten bidang pers, seorang sopir, sebuah mobil, tetap akan ada pengeluaran setengah juta pound…dan beban kepegawaian,” ujarnya.

Sumber: BBCNI

Share :

Baca Juga

Nasional

Pemerintah Percepat Pengisian Jabatan ASN di Kementerian Baru, Kompetensi Jadi Kriteria Utama

Nasional

SBY Dukung Fahri Septian Putratama Berkarier di Eropa Berita

Nasional

Prabowo: Pembekalan menteri di Akmil Magelang bawa tradisi heroisme

Nasional

Anies Janji Wujudkan Ibu Kota Baru Jika Terpilih Jadi Presiden

Nasional

Kisah Penyintas di Dua Dekade Bom Bali

Nasional

Soroti Pernyataan Anies Baswedan, Formappi: Dia Seolah-olah Lupa Bahwa…

Nasional

Respons Menohok Anies Ketika Jokowi Ikut-ikutan Komentari Debat Capres

Nasional

Butuh 3 Tahun Persiapkan Kalimantan Jadi Ibu Kota RI
error: Content is protected !!