NUSA DUA – Negara konsumen utama sawit seperti China dan Eropa mulai beralih kepada minyak nabati lain dengan secara bertahap. Ketidakseimbangan pasokan dan permintaan memberikan dampak besar terhadap harga jual sawit di pasar internasional. Strategi apa yang harus dijalankan
Memasuki hari terakhir Indonesia Palm Oil Conference (IPOC), Jumat (8 November 2024), enam pembicara menyampaikan analisisnya dalam sesi “Palm Oil Industry Prospect: Regional Perspective” untuk memetakan posisi strategis sawit khususnya Indonesia di perdagangan internasional.
Keenam pembicara tersebut antara lain Ryan Chen (China CNF Business Director – Oils & Oilseeds, Cargill Investments China Ltd), B.V. Mehta (Direktur Eksekutif The Solvent Extractors’ Association of India), Abdul Rasheed Jan Mohammad (CEO, Westbury Group).
Berikutnya adalah Mohamad Helmy Othman Basha (Chairman, Malaysian Palm Oil Board/MPOB) Alvin Tai (Soft Commodity Analyst Bloomberg), Alponsus Inyang (National President, National Palm Produce Association of Nigeria (NPPAN) yang dimoderatori oleh Alisa Uryupina, Dosen Universitas Mgimo, Moskow, Rusia.
Adalah Ryan Chen, Direktur China CNF Business, Oils & Oil Seeds pada Cargil Investments (China) menguraikan analisis menarik bahwa minyak sawit tidak lagi menjadi pilihan utama pelaku industri di China karena telah bergeser kepada minyak nabati lain.
Faktor harga menjadi alasan utama mengapa sawit mulai berkurang daya tarik dan daya saingnya.
“Saya kira era harga minyak sawit murah telah berakhir. Mengingat, impor minyak nabati Cina sekarang ini telah memiliki alternatif minyak nabati lain, khususnya minyak kedelai. Bahkan ada potensi harganya bisa lebih murah,” kata Ryan Chen, Direktur China CNF Business, Oils & Oil Seeds pada Cargil Investments (China).
Analisis Ryan Chen didukung data bahwa sepanjang periode tahun 2024 pemintaan minyak nabati Cina akan stagnan pasca lonjakan kenaikan pembelian pada 2023. Permintaan minyak sawit Cina (olein dan stearin) diperkirakan turun sekitar 30% tahun ini akibat persoalan harga. Pangsa minyak sawit terhadap total permintaan minyak nabati diperkirakan menurun ke 12,8% tahun ini, dibandingkan dengan 17,5% tahun 2023.
Selanjutnya, impor minyak olein tahun ini bisa menurun ke 2,3 juta metrik ton pada 2024, dibandingkan tahun 2023 yang sebesar 4,2 juta metrik ton.
Pada 2025, impor olein diproyeksikan stagnan di antara 2,3 juta – 2,4 juta metrik ton. Posisi Indonesia sebagai produsen minyak sawit dunia terus menjadi perhatian negara importir sawit khususnya berkaitan kebijakan dan performa produksi.
Persoalan rendahnya produktivitas sangatlah rentan terhadap aliran suplai sawit Indonesia. Faktor kebijakan pungutan ekspor juga mempengaruhi harga sawit di negara tujuan ekspor.
B.V Mehta, Direktur Eksekutif dari The Solvent Extractors’ Association di India, menyebutkan bahwa rencana kenaikan mandatori biodiesel di Indonesia akan berdampak bagi pasokan di pasar dunia. Konsumsi domestik India mencapai sekitar 30 juta metrik ton, tapi hanya sekitar 13 juta ton bisa dipenuhi dengan produksi minyak lokal.
“India masih akan tergantung pada impor minyak nabati, namun kebijakan biodiesel di Indonesia telah menimbulkan kekhawatiran di pasar soal suplai sawit,” kata Mehta.
Sementara Alponsus Inyang, Presiden National Palm Produce Association of Nigeria (NPPAN), mengatakan bahwa ada kesempatan untuk investasi dan perdagangan minyak nabati di Afrika. “Kita mengundang para investor untuk berinvestasi di Nigeria dan perdagangan minyak nabati karena permintaan minyak nabati di Afrika meningkat terus,” katanya.
Sumber: Sawit Indonesia