JAKARTA – Permohonan terbaru uji materiil ketentuan batas usia calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) kembali diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), kali ini oleh sekelompok mahasiswa asal Solo. Sebelumnya, sejumlah partai politik dan kepala daerah juga mengajukan gugatan yang hampir sama terkait batas umur presiden calon presiden dan calon wakil presiden, meminta penurunan batas minimal usia dari 40 tahun menjadi 35.
Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi menilai uji materil yang diajukan warga Solo tersebut sangat politis karena pemohon meminta tafsir dan makna konstitusional ketentuan batas usia itu dimaknai dengan bahwa syarat “usia 40 tahun atau pernah menjabat sebagai gubernur/bupati/wali kota”. Dengan kata lain kata Hendardi, pemohon kembali mengambil langkah antisipatif bilamana MK terlanjur memutus menolak permohonan serupa pada tiga perkara yang hampir putus.
Selain itu kata Hendardi, mahasiswa Solo tersebut tidak punya legal standing karena yang bersangkutan tidak sedang dan akan nyapres. “Nah ini kan ada indikasi atau kecendrungan atau fenomena untuk menggolkan seseorang atau sekelompok orang sehingga mereka ngotot terus dengan gugatan-gugatan semacam ini,”kata Hendardi.
SETARA Institute: MK Bukan Mahkamah Keranjang Sampah
Menurut Hendardi, MK adalah Mahkamah Konstitusi, bukan Mahkamah Keranjang (sampah) yang bisa memeriksa semua perkara atau tempat semua curahan warga mencari keadilan. Bukan pula tempat para elit, dengan mengorkestrasi warga, untuk menggunakan instrumen keadilan ini mencari kuasa.
Demi kepastian hukum, Hendardi mendorong MK untuk segera menggelar sidang pleno pembacaan putusan, mengingat tahapan Pilpres akan memasuki masa pendaftaran pada 19-25 Oktober 2023. Menunda pembacaan putusan yang sudah diputuskan, sama saja menunda keadilan, tegasnya. Menunda keadilan berarti menolak keadilan sebagaimana doktrin “justice delayed justice denied.” Artinya, putusan MK tidak akan berarti bagi penegakan kehidupan berkonstitusi.
Mempercepat pembacaan putusan juga penting untuk memberi pembelajaran bagi warga dan kelompok elit yang secara terus menerus menyampaikan argumen bahwa seolah-olah pembatasan usia capres/cawapres adalah diskriminatif, sehingga harus ditafsir lain. Padahal sejak lama MK sudah mengkategorikan soal pengaturan usia pejabat publik bukan isu konstitusional.
Batas usia dalam pengisian jabatan publik, kata Hendardi, jelas bukan kewenangan MK, tetapi kewenangan pembuat undang-undang yaitu DPR dan pemerintah. “Itu yang ingin saya dorong bahwa MK segera melakukan atau menyegerakan pembacaan putusan itu,” tegasnya.
Dari perspektif HAM dan hak konstitusional warga, sejak awal MK telah mempertegas batasan tafsir diskriminasi, yang seringkali dijadikan argumen dan dalil pengujian konstitusionalitas norma. Banyak yang telah salah kaprah penggunaan dalil diskriminasi, yang sebenarnya adalah bentuk perlakuan berbeda dalam kondisi yang berbeda.
Riset yang dilakukan SETARA Institute selama sepuluh tahun atas kinerja Mahkamah Konstitusi dan dirilis tahun 2013, mencatat bahwa institusi itu telah berkontribusi luas untuk memberikan batasan pemaknaan terhadap konsep diskriminasi dan non diskriminasi.
Menurut Hendardi, perlakuan berbeda atau pembedaan dapat dibenarkan sepanjang tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan politik, serta tidak dilakukan secara sewenang-wenang dan melampaui kewenangan pembentuk undang-undang.
Perludem: Penentuan Syarat Usia Pemimpin Bukan Kewenangan MK
Hal senada disampaikan anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Menurutnya penentuan syarat usia pemimpin negara tersebut bukan kewenangan atau ranah MK, tetapi pembuat undang-undang, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah.
Meski demikian, Titi menilai dalam merumuskan batasan usia, pembentuk undang-undang tidak boleh sewenang-wenang. Mereka seharusnya melakukan pembahasan secara terbuka, transparan, akuntabel, dan dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna.
“Pilihan batasan usia juga harus mampu mengakomodir partisipasi politik semua golongan dan kelompok secara optimal. Apalagi, anatomi penduduk dan pemilih Indonesia saat ini 56 persen di antaranya adalah terdiri dari mereka yang berusia kurang dari 40 tahun,” kata Titi.
Hal itu juga sedianya diwadahi melalui pilihan syarat usia yang mampu mengakomodasi kiprah orang muda di ranah politik.
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD menyebut MK tidak memiliki kewenangan untuk mengubah suatu undang-undang termasuk soal batas usia capres-cawapres dalam UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Mahfud mengatakan, berdasarkan kewenangannya, MK hanya bisa membatalkan suatu undang-undang apabila hal itu melanggar konstitusi. Menurutnya, selama aturan perundang-undangan tersebut tidak melanggar konstitusi, maka MK tidak boleh membatalkan atau mengubah aturan tersebut. [fw/em]
Sumber: VOA