Home / Nasional

Senin, 1 Juli 2024 - 08:40 WIB

Masyarakat Sipil Kritik UU KIA Belum Lindungi Perempuan Adat dan Pekerja Informal

JAKARTA – Sejumlah organisasi masyakarat sipil yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Sipil Untuk Kebijakan Adil dan Gender, Sabtu (29/6), menilai Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) belum melindungi perempuan adat dan pekerja perempuan di sektor informal, termasuk para pekerja rumah tangga (PRT).

Padahal jumlah tenaga kerja di sektor informal menurut mereka telah mencapai sekitar 82,67 juta orang atau 55,9 persen. Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah pekerja sektro informal di Indonesia bertambah dalam lima tahun terakhir. Pada Februari 2019 jumlahnya masih 74,09 juta orang (57,27 persen dari total penduduk bekerja), kemudian pada Februari 2024 naik menjadi 84,13 juta orang (59,17 persen dari total penduduk bekerja.

Jumisih dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah tangga (Jala PRT) dan Federasi Serikat Buruh (FSB) mengatakan meski UU KIA membuat terobosan dengan menambah cuti melahirkan bagi ibu pekerja menjadi paling lama enam enam bulan, tetapi hal itu tidak mudah diimplementasikan.

Terutama untuk para buruh perempuan yang berstatus buruh kontrak, alih daya (outsourcing), buruh borongan, atau buruh harian lepas. Bagi para buruh perempuan dengan status seperti itu, kata Jumisih, saat ini pun mereka tidak bisa mendapatkan hak cuti melahirkan tiga bulan

“Hubungan kerja yang tidak pasti itu membuat buruh perempuan selama ini sulit mengakses hak cuti melahirkan. Itulah yang kemudian menjadi pertanyaan besar bagi kami pada saat UU KIA ini diketok palu, bagaimana impelementasinya,” kata Jumisih dalam jumpa pers di Jakarta, Sabtu (29/6).

Dia menekankan penerapan cuti melahirkan enam bulan berpotensi mendorong pihak perusahaan meminggirkan perempuan dengan tidak mempekerjakan buruh perempuan yang sudah menikah dan berpotensi hamil. Bahkan memberhentikan buruh perempuan yang mengambil cuti melahirkan.

Baca juga  Guru Honorer Supriyani Disomasi Bupati Konawe Selatan

Buruh perempuan sulit mendapat cuti

UU KIA menyebutkan bahwa setiap ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan paling singkat tiga bulan pertama dan paling lama tiga bulan berikutnya apabila terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Selama masa cuti tersebut, mereka berhak atas upah yang dibayar penuh untuk tiga bulan pertama dan bulan keempat, kemudian 75 persen dari upah untuk bulan kelima dan bulan keenam.

Menurut Jumisih, pada kenyataannya selama ini untuk mendapatkan cuti melahirkan, buruh perempuan harus melakukan negosiasi dengan pihak perusahaan melalui serikat buruh. Padahal, 90 persen buruh perempuan belum berserikat dan tidak semua perusahaan memiliki serikat buruh atau serikat pekerja.

Jumisih juga menjelaskan cuti melahirkan bukan hanya sulit didapatkan oleh buruh perempuan yang bekerja di perusahaan, tetapi juga sulit didapatkan oleh para pekerja rumah tangga. Selama ini, tambahnya, para pekerja rumah tangga juga sulit mendapatkan cuti melahirkan. Bahkan seringnya jika ada pekerja rumah tangga melahirkan dikondisikan untuk mundur.

“Apakah kesejahteraan itu hanya untuk ibu-ibu yang bekerja formal? Ibu-ibu yang bekerja di sektor swasta? Apakah kami perempuan (yang) ada di kampung bukan ibu yang layak disejahterakan begitu? Karena kami tidak punya kontrak kerja, kami tidak punya SK, dan sebagainya?” tanya Yeryana.

Dia menambahkan jika bahasannya menyejahterakan ibu dan anak, harus ada keseimbangan hak kepada perempuan adat. Sebab perempuan adat juga melahirkan generasi yang sama dalam bangsa Indonesia.

Menurut Yeryana, perempuan adat mungkin tidak minta hak cuti melahirkan, tetapi bagaimana kebijakan negara ini bisa menjamin perempuan adat bisa hidup sehat sesuai pengetahuan sebagai perempuan adat.

Baca juga  BYONIC Gelar MUNAS 5

Harmonisasi UU KIA

Karena sudah disahkan, Nanda dari Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) mengungkapkan pemerintah harus segera mengharmonisasi UU KIA dengan peraturan terkait, seperti UU Kesehatan, UU Perkawinan, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan aturan turunan lainnya agar tidak tumpang tindih.

Selain itu, ujarnya, harus ada pembuatan peraturan presiden untuk membangun mekanisme koordinasi kementerian/lembaga negara lintas sektor dan pemerintah daerah yang jelas serta terintegrasi

“Undang-undang (Kesejahteraan Ibu dan Anak) ini juga tidak memperhitungkan bagaimana perempuan bisa membuat keputusan yang terbaik untuk dirinya sesuai dengan kebutuhan. Maka kami menyoroti karena ini sudah disahkan, harus segera dicari dalam (aturan) turunannya kondisi-kondisi rentan di mana pemerintah atau negara bisa hadir melindungi perempuan,” tuturnya.

Kementerian Ketenagakerjaan, lanjutnya, juga harus berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) untuk mengawasi perusahaan-perusahaan agar mematuhi kewajiban yang diatur dalam UU KIA dan tidak memberhentikan buruh perempuan yang mengambil cuti melahirkan, serta memastikan tersedianya layanan ramah ibu dan anak di tempat kerja dan fasilitas publik.

Kemen PPPA memastikan aturan turunan dari UU Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (UU KIA) segera disusun.

Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Kesetaraan Gender Indra Gunawan menjelaskan terdapat tiga Peraturan Pemerintah (PP) dan satu Peraturan Presiden yang akan diterbitkan untuk pelaksanaan UU KIA.

Dia memastikan pemerintah akan melibatkan pihak-pihak terkait yang mewakil publik, untuk turut memberi masukan dalam penyusunan aturan turunan tersebut. [fw/ft]

Sumber: VOAI

Share :

Baca Juga

Nasional

Pintu Umrah Belum Terbuka untuk Jemaah Indonesia

Nasional

Tidak Pakai Visa Haji, 34 Jemaah Indonesia Dipulangkan, 3 Lainnya Diproses Hukum

Nasional

Hercules Pasang Badan untuk Adiknya Ini, Bakal Mengadu kepada Mahfud hingga Jokowi

Nasional

Bareskrim Polri Tetapkan Kamaruddin Simanjuntak Sebagai Tersangka

Nasional

Kemenkeu Jadi Sorotan Lagi, Viral Alphard Masuk Apron Bandara Soetta, Ternyata Jemput Sri Mulyani

Nasional

Kasus Kanjuruhan Jadi Bukti Buruknya Hukum dan Penegakan Keadilan

Nasional

Jokowi Minta ASEAN-Australia Terus Bangun Rasa Saling Percaya

Nasional

Salah Paham Pasal Zina dan ‘Kumpul Kebo’ di KUHP
error: Content is protected !!