Lily Wahid. (Foto: BB)
JAKARTA, LANDAK NEWS -Keterlibatan masyarakat dan penguatan nilai-nilai Pancasila dinilai menjadi kunci pencegahan radikalisme dan terorisme ke depan. Berdasarkan itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) harus terus merangkul seluruh elemen masyarakat dalam memasifkan pencegahan terorisme.
Selain itu, BNPT juga wajib memperkuat kerjasama dengan lembaga terkait, baik pemerintah maupun ormas dalam penguatan nilai-nilai Pancasila.
“Pelibatan masyarakat ini mutlak dilakukan karena faktanya banyak pelaku teroris akhir-akhir ini yang berhasil melakukan aksinya karena luput dari pengamatan masyarakat sekitar. Bandingkan dengan dulu, orang yang ‘aneh-aneh’ lebih mudah dideteksi, baik itu oleh aparat maupun lingkungan sekitar,” kata tokoh kebangsaan Lily Wahid menyambut 7 tahun keberadaan BNPT di Jakarta, Selasa (11/7/2017).
BNPT resmi dibentuk berdasarkan Perpres Nomor 46 tahun 2010 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 16 Juli 2010.
Mantan anggota DPR RI dari PKB ini menyarankan digalakkan lagi peraturan bagi tamu atau orang baru yang lebih dari 24 jam di setiap lingkungan harus lapor ke RT/RW setempat, terutama di tempat-tempat kos atau kontrakkan.
Ia menilai, aturan ini saat ini sudah banyak diabaikan sehingga tamu atau orang baru yang lolos dari pengamatan aparat setempat.
Selain itu, aparat keamanan terutama di tingkat desa dan kecamata juga ikut proaktif seperti dulu yang dilakukan di setiap Polsek dan Koramil. “Dulu, kalau ada orang ‘aneh-aneh’ didatangi Babinsa atau BabinKamtibmas langsung selesai. Sekarang itu harus dilakukan lagi agar pergerakan terorisme mulai dari tingkat akar rumput sudah terdeteksi,” imbuh Lily Wahid
Keterlibatan masyarakat dan penguatan nilai-nilai Pancasila dinilai menjadi kunci pencegahan radikalisme dan terorisme ke depan. Berdasarkan itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) harus terus merangkul seluruh elemen masyarakat dalam memasifkan pencegahan terorisme. Selain itu, BNPT juga wajib memperkuat kerjasama dengan lembaga terkait, baik pemerintah maupun ormas dalam penguatan nilai-nilai Pancasila.
“Pelibatan masyarakat ini mutlak dilakukan karena faktanya banyak pelaku teroris akhir-akhir ini yang berhasil melakukan aksinya karena luput dari pengamatan masyarakat sekitar. Bandingkan dengan dulu, orang yang ‘aneh-aneh’ lebih mudah dideteksi, baik itu oleh aparat maupun lingkungan sekitar,” kata tokoh kebangsaan Lily Wahid menyambut 7 tahun keberadaan BNPT di Jakarta, Selasa (11/7/2017). BNPT resmi dibentuk berdasarkan Perpres Nomor 46 tahun 2010 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 16 Juli 2010.
Mantan anggota DPR RI dari PKB ini menyarankan digalakkan lagi peraturan bagi tamu atau orang baru yang lebih dari 24 jam di setiap lingkungan harus lapor ke RT/RW setempat, terutama di tempat-tempat kos atau kontrakkan. Ia menilai, aturan ini saat ini sudah banyak diabaikan sehingga tamu atau orang baru yang lolos dari pengamatan aparat setempat.
Selain itu, aparat keamanan terutama di tingkat desa dan kecamata juga ikut proaktif seperti dulu yang dilakukan di setiap Polsek dan Koramil. “Dulu, kalau ada orang ‘aneh-aneh’ didatangi Babinsa atau
BabinKamtibmas langsung selesai. Sekarang itu harus dilakukan lagi agar pergerakan terorisme mulai dari tingkat akar rumput sudah terdeteksi,” imbuh Lily Wahid.Lily Wahid juga menyoroti menurunnya pemahaman nilai-nilai Pancasila di masyarakat. Ia menilai saat ini pemahaman Pancasila di masyarakat sudah sangat tipis, bahkan bisa dibilang sudah lepas dari ingatan bangsa Indonesia. Hal ini tidak lepas dari sistem pendidikan di Indonesia dan keberadaan media sosial. Ia menilai penguatan kembali nilai Pancasila tidak hanya melalui pendidikan formal, tetapi lewat jalur informal.
“Jalur formal melalui dunia pendidikan itu harus. Itu tidak boleh putus dari mulai pendidikan dasar sampai tinggi. Kalau jalur informal, bisa melalui berbagai hal. Contohnya, Amerika saja menumbuhkan rasa percaya diri sebagai bangsa melalui film. Kita juga bisa meniru cara itu yaitu setiap film harus ada konten-konten untuk memberi pelajaran kepada masyarakat tentang kebangsaan. Saya rasa itu bisa efektif dalam membangun kembali jiwa Pancasila bangsa kita,” papar Lily Wahid.
Apalagi, lanjut Lily Wahid, saat ini bangsa Indonesia sedang melakukan revolusi mental sehingga Pancasila itu dimasukkan sebagai bagian dari itu. Dengan demikian masyarakat harus tahu apa yang dilakukan untuk bangsanya, terutama dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada kesempatan itu, Lily Wahid juga menyoroti Rencana Undang-Undang (RUU) Anti Terorisme yang lebih dari setahun ini masih dibahas Panitia Khusus (Pansus) UU Anti Terorisme. Menurutnya, UU Anti Terorisme itu nantinya harus lebih fokus ke pencegahan daripada penangkapan. Dalam hal ini ia mendukung komitmen Pansus RUU Anti Terorisme, meski ia juga mengkritik terlalu lambannya proses revisi tersebut.
“Pencegahan itu diperlukan payung hukum yaitu UU Terorisme. Harusnya dengan ancaman terorisme yang semakin nyata akhir-akhir ini, UU itu sudah jalan. Tapi masalahnya yang diributkan sekarang bukan masalah pencegahan, tapi soal penangkapan. Akhirnya jadi egosektoral khan?” tukasnya.
Lily Wahid juga menyoroti cara-cara penanganan pelaku terorisme yang dieksekusi di tempat. Menurutnya, aparat jangan semua orang yang dituruh sebagai teroris langsung dimatikan karena itu akan memutus informasi tentang jaringan mereka. Langkah-langkah justru menimbulkan tanda tanya di masyarakat.
“Harus ada yang disisain hidup agar bisa digali informasi tentang jaringan mereka. Pokoknya yang menimbulkan kontroversi tolong dievaluasi agar kedepan penanggulangan terorisme lebih baik dan efektif,” tandas Lily Wahid.
Lily Wahid juga menyoroti menurunnya pemahaman nilai-nilai Pancasila di masyarakat. Ia menilai saat ini pemahaman Pancasila di masyarakat sudah sangat tipis, bahkan bisa dibilang sudah lepas dari ingatan bangsa Indonesia. Hal ini tidak lepas dari sistem pendidikan di Indonesia dan keberadaan media sosial. Ia menilai penguatan kembali nilai Pancasila tidak hanya melalui pendidikan formal, tetapi lewat jalur informal.
“Jalur formal melalui dunia pendidikan itu harus. Itu tidak boleh putus dari mulai pendidikan dasar sampai tinggi. Kalau jalur informal, bisa melalui berbagai hal. Contohnya, Amerika saja menumbuhkan rasa percaya diri sebagai bangsa melalui film. Kita juga bisa meniru cara itu yaitu setiap film harus ada konten-konten untuk memberi pelajaran kepada masyarakat tentang kebangsaan. Saya rasa itu bisa efektif dalam membangun kembali jiwa Pancasila bangsa kita,” papar Lily Wahid.
Apalagi, lanjut Lily Wahid, saat ini bangsa Indonesia sedang melakukan revolusi mental sehingga Pancasila itu dimasukkan sebagai bagian dari itu. Dengan demikian masyarakat harus tahu apa yang dilakukan untuk bangsanya, terutama dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada kesempatan itu, Lily Wahid juga menyoroti Rencana Undang-Undang (RUU) Anti Terorisme yang lebih dari setahun ini masih dibahas Panitia Khusus (Pansus) UU Anti Terorisme. Menurutnya, UU Anti Terorisme itu nantinya harus lebih fokus ke pencegahan daripada penangkapan. Dalam hal ini ia mendukung komitmen Pansus RUU Anti Terorisme, meski ia juga mengkritik terlalu lambannya proses revisi tersebut.
“Pencegahan itu diperlukan payung hukum yaitu UU Terorisme. Harusnya dengan ancaman terorisme yang semakin nyata akhir-akhir ini, UU itu sudah jalan. Tapi masalahnya yang diributkan sekarang bukan masalah pencegahan, tapi soal penangkapan. Akhirnya jadi egosektoral khan?, ” tukasnya.
Lily Wahid juga menyoroti cara-cara penanganan pelaku terorisme yang dieksekusi di tempat. Menurutnya, aparat jangan semua orang yang dituruh sebagai teroris langsung dimatikan karena itu akan memutus informasi tentang jaringan mereka. Langkah-langkah justru menimbulkan tanda tanya di masyarakat.
“Harus ada yang disisain hidup agar bisa digali informasi tentang jaringan mereka. Pokoknya yang menimbulkan kontroversi tolong dievaluasi agar kedepan penanggulangan terorisme lebih baik dan efektif,” tandas Lily Wahid. (BB)