JAKARTA, LANDAK NEWS – Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 9 huruf a UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang diajukan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Keputusan MK itu menyatakan hasil dari rapat konsultasi antara KPU dengan DPR tidak lagi mengikat. Dalam arti lain, dalam menyusun Peraturan KPU (PKPU) dan pedoman teknis tentang tahapan pemilu, KPU memiliki kewenangan tanpa perlu berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah.
DPR tak ambil pusing dengan keputusan MK Tersebut. Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy mengatakan, keputusan itu tidak berarti meniadakan pembahasan antara parlemen dengan KPU dalam penyusunan peraturan KPU (PKPU).
Menurut Lukman, keputusan itu hanya menghilangkan frasa konsultasi dan DPR disebut masih memiliki mekanisme rapat dengar pendapat (RDP).
“KPU itu boleh membuat PKPU, tapi kan institusi rapat dengar pendapat (RDP) tetap ada. Bagi Komisi II, mungkin rapat konsultasi yang ditiadakan, tidak ada lagi. Tapi RDP, itu tetap ada,” kata Lukman di Gedung DPR, Jakarta, Senin (10/7).
Lukman menjelaskan, aturan kewajiban konsultasi itu merupakan bentuk terobosan karena era KPU terdahulu seringkali mengabaikan masukan hasil rapat dengan DPR saat membahas PKPU.
“Karena kami selama ini melihat hasil RDP tidak diimplementasikan KPU, kemudian dibuat terobosan di UU Pilkada. Terobosan itu dibatalkan MK, tapi tidak menghilangkan RDP dengan lembaga KPU,” kata Lukman.
Dengan demikian, kata Lukman, KPU tetap harus mengikuti mekanisme RDP yang ada di DPR meski kewajiban rapat konsultasi dihapuskan.
Lukman menyebut mekanisme RDP bersifat mengikat semua pihak termasuk KPU meski tidak tertulis dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).
“Tidak ada secara tekstual RDP harus mengikat, ini terobosan saja. Secara etis tetap lembaga negara, semua lembaga negara memahami eksistensi dari RDP. Pertimbangan menghilangkan kata konsultasi dalam UU Pilkada, karena semua lembaga negara dianggap paham UU MD3,” ujar Lukman.
Secara terpisah, Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, pihaknya merasa lega dengan keputusan tersebut. Meski bukan keputusan luar biasa, kata dia, putusan MK menunjukan kewenangan KPU dalam menyusun peraturan dapat diterima semua pihak.
“Ini kan harus dihormati siapa pun. Kalau lega ya semua lega karena semua sudah bisa menerima,” kata Arief.
Arief menjelaskan, dengan hilangnya kewajiban itu, maka KPU tidak perlu lagi membahas PKPU secara khusus dalam rapat konsultasi dengan DPR. Pembahasan PKPU disebut dapat dilakukan dalam RDP dengan sejumlah bahasan lainnya.
“Misalnya KPU diundang membahas tentang strategi, atau kebijakan dalam sebuah hal. Kalau rapat konsultasi itu khusus dalam membuat PKPU. Tapi kalau RDP bisa apa saja,” ujar Arief.
Sebelumnya, KPU mendaftarkan gugatan terhadap Pasal 9 huruf a Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah pada 4 Oktober 2016. Saat gugatan itu dilayangkan, KPU masih dipimpin Juri Ardiantoro.
KPU menggugat pasal dalam UU Pilkada karena lembaga itu ingin mendapat independensi dalam menyusun peraturan KPU (PKPU). KPU menilai kemandirian mereka tergerus dengan keberadaan Pasal 9 huruf a UU Pilkada. Karena berdasarkan pasal tersebut, mereka wajib berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam membuat PKPU.
KPU menilai hal tersebut dapat menimbulkan konflik kepentingan dalam membuat peraturan akibat kewajiban konsultasi tersebut.
Mantan Komisioner KPU Nafis Gumay menilai putusan MK mengabulkan sebagian gugatan KPU atas permohonan uji materi Pasal 9 huruf a UU Pilkada telah memperkuat independensi KPU.
Meski hanya dikabulkan sebagian, putusan MK untuk menghilangkan frasa “….yang keputusannya bersifat mengikat” dalam pasal tersebut, dinilai mampu memberi keleluasaan pada KPU dalam menyusun Peraturan KPU (PKPU).
“Dengan demikian kami betul-betul bisa menjaga kemandirian,” kata Hadar, saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, pada Senin (10/7).
Namun demikian, Hadar menambahkan, bahwa apa yang menjadi putusan MK ini tidak lantas menutup pintu saran terhadap KPU. Konsultasi maupun rapat dengar pendapat, ujarnya, tetap bisa dijalankan.
“Karena KPU itu, dalam aturan menyusun PKPU, memang harus mengundang pihak-pihak lain. Semua stakeholder, atau pemangku kepentingan dalam pemilihan harus di undang. Bukan hanya Pilkada, tapi juga Pemilu,” kata dia.
“Jadi kalau ada masukan, catatan yang baik yang memang sesuai dengan UU, dan juga diyakini oleh KPU perlu di atur, ya tentu harus diterima,” tambahnya.
Hadar juga menilai putusan MK tersebut sangat tepat lantaran KPU saat ini perlu segera menetapkan UU Pemilu yang baru.
Di sisi lain, KPU sudah mulai masuk pada tahap penyusunan Peraturan KPU (PKPU) untuk Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Hadar pun berharap, usai putusan ini, ada aturan yang tegas yang nantinya menyebutkan bahwa hasil konsultasi KPU dengan DPR dan pemerintah sifatnya tidak mengikat.
“Dibuat saja pasal; dilakukan konsultasi, namun hasilnya dikembalikan kepada KPU, begitu. Karena jika tidak demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa mereka (DPR dan Pemerintah) masih terus ‘mendesak’ gagasan mereka. Sehingga, konsultasi menjadi semakin panjang dan meletihkan,” kata dia. (cnni)