Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dilantik sebagai Manteri ATR oleh Jokowi, kemarin. Di hari sama beredar buku berjudul “Pilpres 2024 & Cawe-cawe Presiden Jokowi” ditulis oleh ayahnya AHY, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Narasi yang berkembang, anak jadi anak buah Jokowi, ayah malah mengkritik Jokowi. Sangat ramai soal ini. Seolah-olah antara anak dan ayah tidak sejalan. Sampai muncul ungkapan lagu Iwan Fals, “Buku ini Kutarik Kembali.” Buku yang terbit di saat yang tidak tepat. Kira-kira begitu respons publik soal dua kejadian itu.
Di grup WA juga ramai bicara itu. Ada ungkapan, “Kalau konsisten, janganlah masuk politik. Politik itu dinamis, bisa berubah cepat sesuai kepentingan.” Lalu, ada kader Demokrat seperti tak bahagia ketika AHY jadi anak buah Jokowi yang dulu selalu dikritik. Ungkapannya begini, “Sembilan tahun mengkritik, malah jadi menteri enam bulan.” Semua tahu betapa dahsyatnya AHY mengkritik rezim Jokowi. Tak ada yang bagus dari Jokowi. Semua salah. Yang hebat masa ayahnya jadi Presiden. Jejak digital kritikan AHY masih berceceran. Semua itu hilang di saat ditawari jabatan menteri oleh orang yang dulu dikritik dan direndahkannya. Kesimpulannya, begitulah politik. Bisa berubah cepat sesuai kepentingan. Kalau konsisten, janganlah berpolitik.
Mental tidak konsisten ini hampir dilakukan semua politisi. Tidak semuanya ya. Sebagai contoh PDIP, di masa rezim SBY, begitu radikalnya mengkritik. Demo selalu dilakukan. Bahkan, kerbau pun ikut dibawa demo. Ketika kadernya menjadi penguasa, giliran Demokrat mengkritik dahsyat. Keadaan berubah, PDIP bersiap keluar gelanggang dan bersiap mengambil posisi tukang kritik penguasa baru di dalamnya ada Demokrat.
Apa maknanya? Sisakan sedikit untuk tidak percaya kepada politisi. Jangan terlalu banyak berharap terhadap sikapnya. Jangan mudah terpukau atas kritikannya pada rezim. Sikap marah mereka di ruang publik, kritik sana kritik sini, semua salah di matanya, semua tak ada yang benar. Mereka berteriak demikian, karena belum dapat apa yang diinginkan. Ketika sudah dapat, mereka diam dan justru membela yang dulu dikritik.
Pertengkaran di tingkat elit politik hari ini, jangan terlalu diseriusi. Jangan sampai habis bertengkar, mereka malah ngopi satu meja. Sementara di tingkat bawah yang tersulut emosi, malah tak bisa ngopi. Ya, begitulah politik wak. Ada saatnya bermuka welas asih, di waktu lain bisa bermuka tembok. Ada saatnya antirezim, di saat lain rela menjilat sepatu rezim yang berlumpur. Lho menuntut politisi itu harus konsisten, sorry ye. Semua itu tak berlaku di dunia politik. Politik hanya mengincar kekuasaan. Tak ada untung dan rugi, hanya ada kalah dan menang.
#camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar