JAKARTA (VOA) — Pemandangan yang tidak biasa terlihat di depan kantor Kedutaan Besar China di Jakarta, Selasa (11/6). Empat warga kabupaten Dairi, Sumatera Utara, menari Tor Tor diiringi instrumen dan lagu dari wilayah itu.
Aksi budaya tersebut bukanlah tanpa tujuan. Warga Dairi menunjukkan kekhawatiran mereka akan rencana proyek tambang PT Dairi Prima Mineral (DPM) di tempat tinggal mereka.
Salah seorang perwakilan masyarakat Desa Sumbari, Kabupaten Dairi, Mangatur Lumbantoruan, mengungkapkan dia dan warga dari desa lain dari kabupaten tersebut datang dengan harapan pemerintah China membatalkan rencana memberi pinjaman kepada PT DPM untuk melanjutkan proyek pertambangan.
“Karena akan menimbulkan bencana ekstrem jika menambang di sana. Ahli geologi, ahli hidrologi bahkan Ombusdman hingga Bank Dunia mengatakan jika menambang di Dairi akan menimbulkan bencana ekstrem karena daerah kami adalah swalayan bencana,” ungkap Mangatur.
Sebuah truk mengangkut tanah yang mengandung bijih nikel dari tambang di hutan yang ditebang di Halmahera, 19 Maret 2012. (Foto: REUTERS/Neil Chatterjee)
Mangatur mengungkapkan, pada 2012 telah terjadi kebocoran limbah yang berdampak pada pertanian. Sumber-sumber mata pencaharian masyarakat lainnya hancur. Jadi, kata Mangatur, rencana pertambangan ini harus dibatalkan.
“Sejak kehadiran DPM, contohnya, durian biasanya setahun dua kali panen, sekarang sekali setahun saja belum tentu. Harapannya, dengan tegas kami dari masyarakat (menginginkan) cabut izin DPM, angkat kaki dari Dairi. Kami tidak membutuhkan pertambangan,” tegas Mangatur.
Sebelumnya, pada 27 April 2024, China Nonferrous Metal Industry’s Foreign Engineering and Construction Co., Ltd. (NFC), perusahaan induk Dairi Prima Minerals (DPM), mengungkapkan bahwa Carren Holdings Corporation Limited akan meminjamkan USD245 juta (hampir 4 triliun rupiah) kepada DPM untuk pembangunan proyek seng dan timbal di dekat Parongil, Kabupaten Dairi, Sumatra Utara.
Carren Holdings Corporation Limited terdaftar di Hong Kong dan sepenuhnya dimiliki oleh CNIC Corporation Limited, yang juga terdaftar di Hong Kong. CNIC Corporation dikuasai utamanya oleh China’s State Administration of Foreign Exchange (SAFE).
Aksi demonstrasi di depan Kedubes China ini merupakan salah satu upaya dari warga Dairi untuk menyelamatkan wilayah mereka dari bahaya yang akan timbul dari aktivitas dan eksplorasi pertambangan.
Pada Agustus 2022, masyarakat Dairi sudah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta karena Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberi persetujuan lingkungan kepada DPM untuk menambang. Pengadilan berpihak kepada masyarakat dan memutuskan agar Persetujuan Lingkungan tersebut dibatalkan.
Pengadilan mengakui bahwa area tambang DPM rawan bencana dan tidak cocok untuk kegiatan pertambangan. DPM dan KLHK mengajukan banding ke PTUN, dan menang.
Rainim Purba, salah satu pihak penggugat Persetujuan Lingkungan dari Desa Pandiangan, mengungkapkan selain di pengadilan, pihaknya sudah mendatangi kantor DPRD Sumatera Utara, bupati, dan gubernur. Ia bahkan sudah dua kali datang ke Jakarta.
Ia dan masyarakat sekitar sangat khawatir apabila aktivitas pertambangan benar-benar terwujud. Apalagi, aktivitas pertambangan yang direncanakan hanya berjarak 3 kilometer dari sumber mata air masyarakat.
“Saya sendiri sebagai perwakilan masyarakat yang ada di Dairi menyampaikan suara sampai ke Jakarta, sejauh-jauhnya kami datang ke sini, karena memikirkan pertanian kami. Keberadaan pertambangan DPM yang ada di Dairi sangat merugikan kami. Dari kabupaten tidak didengar, sampai provinsi kami tidak didengar. Maka kami memutuskan sampai ke sini menyampai suara kami ke pemerintah China dan pemerintah Indonesia,” ungkap Rainim. [gi/ka]
Sumber: VOA Indonesia